Bissmillah...

The Azhar's Journey

Sudahkah anda Ngopi Hari ini ??? Mariki membaca saudara

About me

Hello

I'mAshar

Si Gembel Kampus

"Saya Ashar, saya lahir Tepatnya tanggal 12 Oktober 1992, Saya erat dengan Budaya Bugis karena saya lahir ditengah keluarga berdarah Bugis tepatnya Bugis Bone. Saat ini saya sedang melanjutkan Pendidikan S1 di sebuah Kampus Negeri, IAIN Parepare. Program Pendidikan Bahasa Inggris. Jadi, Mampirki kalau adaki dipare, MAIKI SI ANRASA RASANG NA SIAMASE MASEI, SIPAKARIO-RIO, TENG SICARINNAIYANG WARANGMPARANG ANGKANNA SITINAJAE, SIPAKAINGE RIGAU MEDECENGNGE, NA TO SIADDAMPENGENG PULANAE.

Cinta, Itulah alasannya

Sejarah Perjalanan Kasta di Kerajaan Bone



Kasta dari bahasa Portugis (casta) adalah pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu (Bangsa-bangsa Kerajaan Nusantara):

  1. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu  disandang oleh para pribumi.
  2. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua  harta milik negara.
  3. Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.
  4. Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah:
  1. Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Ksatria.
  2. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna, bangsa asing.
Sepert halnya kasta-kasta di Bone merupakan hasil penyusunan yang menjadi ketentuan atau pengaturan ( Wari) yang telah ditetapkan raja Bone dimasa pemerintahan Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng (raja Bone ke-16  (1696-1714 M). Sejak itulah susunan dan tingkatan derajat bangsawan di Bone diberlakukan bahkan masih ada sampai sekarang.

Pembagian masyarakat Bugis-Makassar dalam kasta-kasta atau golongan-golongan adalah suatu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan religius dari masyarakat Bugis-Makssar di Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Di dalam buku “Latoa” ( kumpulan dari sabda-sabda dan petuah-petuah dari raja-raja dan orang-orang cerdik pandai dahulu kala ) dikatakan, bahwa memelihara dan mempetahankan kasta-kasta adalah salah satu syarat untuk menjadikan sebuah negeri bisa menjadi besar. Dikatakan selanjutnya, bahwa kemakmuran sebuah negeri adalah bergantung dari empat perkara, yang mana setelah agama Islam masuk di daerah Bone ini ditambahkan dengan apa yang disebut  “sara”.atau undang-undang Islam.

Adapun kelima perkara tersebut ialah :

  1. Ade’ (kebiasaan dahulu);


Ade merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
    2. Rapang (undang-undang);

Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
     3. Bicara /tuppu (peradilan) ;
 
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.


    4. Wari’ (pembagian dalam kasta-kasta);

 
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.


    5. Sara’ (undang-undang Islam)

 
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)

Kasta-kasta di Bone dapat diperinci atas tiga kasta utama, yaitu:
1. Anak Arung (anak raja-raja);
2. To-Maradeka (orang-orang merdeka/orang-orang biasa atau kebanyakan);
3. Ata (hamba-sahaya atau budak)


Kasta  A, terbagi dalam golongan-golongan, yaitu :

A.I.  Anak Arung Matasa’ (anak raja / putera-puteri mahkota yang masak/ murni darahnya), yaitu ayah dan ibunya anak arung matasa’, baik yang berketurunan dari kerajaan Bone sendiri maupun yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan lain yang dinilai sederajat/ setinggi dengan Bone, antara lain: Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng. (golongan ini disebut  ANA’-PATTOLA, yang berhak penuh menggantikan raja).
A.II. Anak Arung Matasa’ (putera-puteri bangsawan asli yang bukan putera-puteri mahkota) yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan tersebut pada aksara A.I. tersebut di atas. (golongan ini juga disebut ANA’ PATTOLA, yang dapat pula menggantikan raja apabila putera-puteri mahkota tidak ada dan/atau sesuatu hal lain yang musykil penyebabnya).
A.III. Arileng atau Anak-Manrapi, yaitu anak yang lahir dari :bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II. Ibu, dari kasta golongan yang tingkatannya atau darahnya menurun (tidak sama dengan suaminya), yang biasanya disebut Rajeng. Golongan ini dapat diangkat menjadi raja bilamana tidak ada Anak-Pattola , karena Anak-Pattola dianggap tidak cakap untuk menduduki takhta kerajaan).
A.IV. Rajeng, yaitu anak yang lahir dari: Bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II. ibu, dari kasta / golongan yang tingkatnya / derajatnya menurun (jauh beda dengan suaminya, yang lazim disebut Cera’-Ciceng atau anak arung sipu-E (bangsawan separuh, anak-cera’ (bangsawan campuran).
A.V. Anak Arung-Sipu-E (bangsawan separuh), yaitu anak yang lahir dari: bapak, kasta golongan A.I atau A.II. Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang biasa atau kebanyakan).
A.VI. Anak-Cera’ (bangsawan campuran), yaitu anak yang lahir dari: Bapak dari kasta golongan anak arung sipu-E (A.V.):

Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang biasa/kebanyakan ataupun budak).

Kasta golongan A.I. s/d  A.VI. tersebut di atas ini, orang-orang Bone pada khususnya dan di daerah-daerah tanah Bugis pada umumnya memberi julukan dengan istilah “ANAK-EPPONA-MAPPAJUNGNGE” ( keturunan raja-raja di Bone).

Kasta B. Terbagi dalam golongan:

B.I. To-Deceng (orang baik-baik);
B.II. To-Sama’ / To-Maradeka ( biasa atau kebanyakan / orang-orang merdeka)
Kasta C. Terbagi dalam golongan:
C.I. Ata-Mana (hamba sahaya warisan)
C.II. Ata-Mabuang ( hamba sahaya baru)

selain daripada golongan anakkarung (anak raja-raja di Bone) atau kasta golongan A. Tersebut, ada pula golongan yang disebut “ANA’ ARUNG PALILI”, yaitu golongan dari turunan raja-raja dahulu sebelum turunan raja Bone “ Lapatau Matanna Tikka” (raja Bone XVI).


Pada umumnya, golongan ini tidak termasuk golongan yang memberi julukan dengan istilah “ANA’ EPPONA MAPPAJUNGNGE” bukan asal keturunan To Manurung.

Akan tetapi di dalam perjalanan masa dan perkembangan zaman, tidak kurang juga bilangan turunan Arung Palili’ yang berketurunan pula dari golongan anakarung (anak raja-raja di Bone) dan dari bangsawan tinggi di Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dll. Karena perkawinan, sehingga hubungan dan pertalian kekeluargaan serta keterbatasan, bahkan kekuasaan dan pengaruh raja-raja yang besar dan berkuasa bertambah luas pada masanya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka kasta-kasta di masing-masing kerajaan, seperti : Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain adalah pada dasarnya sama dengan kasta-kasta di Bone. Perbedaannya mungkin terdapat pada sebuah istilah-istilah (terminologi) dan peletakannya dalam susunan tingkatan menurut ketentuan-ketentuan setempat masing-masing.

Dalam sejarah Bone, bahwa setelah masuknya agama Islam di kerajaan Bone pada tahun 1611 M pada masa pemerintahan La Tenri Ruwa – Sultan Adam MatinroE ri Bantaeng,  (1611-1616) dan ajaran serta tuntunan syariat agama Islam tersebut telah berjalan tersebar secara meluas dan merata puluhan tahun lamanya, yaitu pada masa raja Bone ke-13  Lamaddaremmeng Matinro-E ri Bukaka berkuasa di kerajaan Bone (1631-1644), seorang raja terkenal menjalankan ajaran Islam secara murni. Beliau menetapkan dan menjalankan ajaran Islam dalam kerajaan Bone, bahwa tidak boleh lagi ada orang yang memelihara atau memiliki hamba sahaya (budak), mereka harus dimerdekakan dan dibayar tenaganya jika dipekerjakan. Terhadap mereka yang tidak mau menaatinya akan diambil tindakan keras.

Sikap dan tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, menyebabkan banyak pembesar dan bangsawan di Bone yang pada masa itu masih kuat dan tetap mempertahankan kebiasaan dan kepercayaan leluhurnya, yaitu kepercayaan animisme dan festisisme, mengadakan tantangan terhadap raja Bone Lamaddaremmeng. Bahkan Ibu kandung beliau sendiri pun (We Tenri Solerang Makkalurue Datu Pattiro), termasuk golongan penentang. Namun demikian, raja Bone Lamaddaremmeng tidak menghiraukannya. Maka beberapa pembesar kerajaan Bone bersama pengikut pengikutnya dan ibu beliau sendiri mengungsi ke Gowa untuk meminta perlindungan pada raja Gowa Sultan Malikussaid.

Akhirnya timbullah peperangan antara raja Bone Lamaddaremmeng dengan Sultan Malikussaid raja Gowa, karena raja Bone Lamaddaremmeng tidak mengindahkan usaha dan ajakan Sultan Malikussaid raja Gowa yang telah berulang kali menyelesaikan sengketa tersebut secara damai yang tak kunjung berhasil. Raja Bone Lamaddaremmeng memilih mengalah dalam perang tersebut karena lawan bukan siapa-siapa yaitu dari keluarganya sendiri.

Dengan adanya tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, walaupun menghadapi tantangan besar yang berakhir dengan peperangan sehingga beliau memilih mengalah, tetapi dari raja Bone Lamaddaremeng lah maka kasta-kasta di Sulawesi Selatan dan Tenggara, khususnya di Bone sedikit banyaknya mulai mengalami perkembangan baru menuju ke arah perbaikan sosial dan ekonomi rakyat pada umumnya.

Perubahan dan perkembangan baru tersebut lebih meninngkat, nampak dan nyata pada masa raja Bone ke-15 Latenritata Sultan Saaduddin Arung Palakka Matinroe ri Bontoala, (1667-1696). Kemudian beliau diganti kemanakannya, yaitu raja Bone Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng sebagai raja Bone ke-16( 1696-1714), mengikuti jejak dan kepemimpinan pamannya (Latenritata Arung Palakka) dan berhasil mencapai sukses, kerajaan Bone serta rakyatnya berada dalam kondisi yang lebih jelas dan lebih nyata struktur dan tata kendali kehidupan sosial, politik dan ekonominya.

Walaupun demkian karena kondisi, situasi dan keadaan demikian rupa pula, perbudakan di Sulawesi Selatan danTenggara (termasuk Bone) berlangsung terus, meskipun tidak sehebat seperti dulu. Demikian juga raja Bone Lapatau Matanna Tikka bahkan berhasil menyusun suatu ketentuan dan pengaturan baru mengenai susunan serta tingkatan derajat bangsawan di Bone yang berlaku dan diberlakukan sejak itu bahkan sampai sekarang, sesuai uraian-uraian kasta di Bone.


Sejak semula raja Bone Latenritata Arung Palakka berkuasa di Bone, pada masa itu pula pengaruh kekuasaan penjajahan Belanda untuk menanam dan memperkukuh penjajahannya di Sulawesi Selatan Tenggara pada khususnya dan Indonesia bagian Timur pada umumnya, setelah kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda dalam tahun 1666-1669, yang beralaskan pada suatu perjanjian di tempat yang bernama Bungaya (Gowa) pada tanggal 18 November 1667, yang dikenal dengan sebutan “Cappayya Ri Bungaya” antara kompeni Belanda (Speelman dan kawan-kawannya) disatu pihak dengan raja Gowa bersama pembesar kerajaan di lain pihak.

Dalam hubungan ini pula Belanda mulai mengambil langkah-langkah serta tindakan ke arah penghapusan perbudakan (alaverny) yang pada mulanya juga nampak tidak membawa hasil yang diharapkan. Perbudakan di Sulawesi Selatan Tenggara berlangsung terus, namun tak seperti dulu lagi.
Bagi kasta raja-raja dan kaum bangsawan (kasta A). Belanda bersimpati, bersikap lunak dan berlaku lembut, bahkan Belanda berusaha keras untuk mengambil hati dan simpati  raja-raja dan golongan bangsawan, kasta mana tradisionil memegang peranan dan kekuasaan sesungguhnya atas rakyat banyak. Dengan demikian, maka disaat ini pula Belanda dapat pula menggunakan politik Devide et Impera-nya  (politik pecah-belahnya) diantara kaum raja-raja.

Pengertian secara definitif Divide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Dua setengah abad kemudian setelah kerajaan Gowa dikalahkan, kompeni Belanda tersebut barulah pada tahun 1905 Belanda benar-benar berhasil menguasai seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, yaitu setelah menguasai Bone secara definitif dengan peperangan yaitu kekerasan senjata. Semenjak itu tidak ada lagi raja di Bone dan di Gowa. Dalam tahun 1931 barulah Belanda mengangkat raja yang baru di Bone  ( La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa, 1931-1946) dan  di Gowa. tahun 1936.

Dengan berhasilnya Belanda menguasai Gowa dan Bone dalam tahun 1905/1906 tersebut, berarti keruntuhan dua kerajaan yakni kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dan bahkan seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang dalam hubungan ini berarti pula keruntuhan golongan bangsawan di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Penghapusan perbudakan di daeah ini pun menjadi lebih nyata dan menentu, namun perhubungan antara keturunan-keturunan sahaya dengan keturunan-keturunan pemiliknya yang lama masih juga kelihatan erat bahkan nampaknya jalinan perhubungannya berubah dan beralih bentuk menjadi kekerabatan dan / atau kekeluargaan layaknya. Sehubungan pula dengan perkembangan cepat dan pesat dari masyarakat di daerah ini, maka dapat dikatakan bahwa pada dewasa ini lenyaplah semua perbudakan di dalam bentuk apapun juga.

Dalam kancah kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan kemudian leburnya pemerintahan dan kekuasaan raja-raja (swapraja) di seluruh Indonesia., demikian pun di Sulawesi Selatan dan Tenggara, maka dikalangan kaum bangsawan tradisionil pun di daerah pada khususnya, di Indonesia pada umumnya dewasa ini sudah tiba masanya berakhir secara hukum.

Dalam masa peralihan dan perkembangan baru dewasa ini telah terjadi hubungan perkawinan antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria yang dipandang dan diketahui lebih rendah derajatnya (tingkatannya) atau dengan kata lain pria yang tidak sederajat, bahkan adakalanya juga pria yang berasal dari golongan kasta B. (orang biasa atau kebanyakan), yang pada masa dahulu jarang sekali terjadi kecuali sesuatu hal dan sebab musykil yang sukar dielakkan (memaksakan).

Karena demikian justru pendukung struktur kekuasaan dalam kerajaan yang amat penting, adalah pranata perkawinan yang mempunyai arti politik sangat utama di kalangan bangsawan wanita juga mempunyai kedudukan penting, karena seseorang wanita bangsawan tidak boleh kawin dengan dengan pria yang mempunyai derajat yang lebih rendah darinya.

Kaum wanitalah yang menetapkan, bahkan meningkatkan derajat keluarganya ke jenjang yang lebih tinggi derajat atau kedudukannya . tiap-tiap anakarung (bangsawan) penguasa negeri, atau pembesar kerajaan berusaha memperbesar atau memperluas jaringan kekeluargaannya dan kekerabatannya, sehingga golongan keluarga yang rumpun dan luas jaringannya selalu diusahakan diperisterikan (dikawini). Dengan demikian, maka ia akan kuat dalam pengaruh dan kekuasaannya dalam poloitik kerajaan.


Secara umum dapat disimpulkan, bahwa To Manurung di Bone sebagai awal pelapisan masyarakat Anakarung (bangsawan) orang Bone, berkembang dengan pesatnya menjadi lapisan sosial penguasa kerajaan, melalui pranata sosial perkawinan. Hal itulah merupakan pangkal pokok yang menyebabkan struktur kekerabatan menjadi sendi membangun kekuatan dalam struktur politik kerajaan bone. Kaum bangsawan Bone yang menjadi kekuatan utama dalam struktur kekuasaan, dapat menguasai segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal itu masih sangat terasa sampai pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada waktu itu, perbedaan antara kaum bangsawan Bone, Gowa dan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara, tidak mempunyai lagi arti yang penting seperti halnya dahulu dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara. Semuanya dapat memakai atau tidak memakai gelar atribut kebangsawanan, tergantung kepada pilihan dan kemauan tiap-tiap orang. Lagi pula struktur pelapisan sosial masa kini telah sangat berubah, sehingga apa yang disebut kaum bangsawan di Sulawesi Selatan dan Tenggara , sekarang tidaklah menentukan mobilitas sosial, dalam komposisi pelapisan sosial masa kini.

Namun orang bijak mengatakan, sejarah adalah sejarah dan harus diakui kalau semua itu pernah terjadi. Apapun yang terjadi di masa lalu adalah landasan kekinian untuk masa akan datang. Bangsa yang besar adalah bagi mereka yang dapat  memaknai perjalanan sejarah dan budaya pendahulunya.

Mendiskreditkan perjalanan sejarah leluhur sama halnya mediskreditkan diri sendiri. Sejarah tak perlu diperdebatkan namun perlu didiskusikan, pilih yang terbaik untuk diambil sarinya. Sekarang yang dibutuhkan  adalah semangat hidup  SUMANGE’  TEALARA’  Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan.
(Mursalim)


Sumber : https://telukbone.id/2015/05/28/sejarah-perjalanan-kasta-di-kerajaan-bone/

Bagan Struktur Pemerintahan Kerajaan Bone



A. ARUNG PONE (RAJA BONE) DIGELAR MANGKAU
 
Sebagai kepala pemerintahan di Kerajaan Bone dengan dibantu oleh 4 (empat) Kabinet antara lain :
 
I. PETTA POGGAWAE (PANGLIMA PERANG)
  • Bertugas di bidang Pertahanan Kerajaan Bone  dengan Membawahi 3 (tiga)  perangkat masing-masing:
  1. Anre Guru Anakkarung,  bertugas mengkoordinir para anaK bangsawan berjumlah 40 (empat puluh)  orang bertugas sebagai pasukan elit kerajaan).
  2. Pangulu Joa,  bertugas mengkordinir pasukan dari rakyat tana Bone yang disebut Passiuno artinya Pasukan Berani Mati yakni pasukan siap tempur di medan perang setiap saat rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya kerajaan Bone dari gangguan kerajaan lain.
  3. Dulung  (Panglima Daerah), bertugas mengkoordinir daerah kerajaan bawahan, di kerajaan Bone terdapat  2 (dua)  Dulung (Panglima Daerah yaitu :
  1. Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara
  2. Dulungna Awatangka dari kawasan Bone Selatan.
II. JENNANG (PENGAWAS)
  • Bertugas  mengawasi para petugas yang menangani di bidang pengawasan baik dalam lingkungan istana, maupun dengan daerah kerajaan bawahan).
III. KADHI  (ULMA)
  • Bertugas sebagai penghulu syara’ dalam bidang agama Islam. Perangkatnya terdiri dari imam, khatib, bilal.
IV. BISSU (WARIA)
  • Bertugas merawat benda-benda kerajaan Bone di samping  itu sebagai tabib  mengadakan pengobatan tradisional, juga bertugas dalam kepercayaan kepada Dewata Seuwae, setelah masuknya islam di kerajaan Bone,  kedudukan bissu di non aktifkan. Namun untuk masa sekarang kembali  dilibatkan pada acara budaya seperti perayaan hari jadi Bone.
B. ADE  PITUE  (ADAT TUJUH) KERAJAAN BONE
 
Ade Pitu merupakan lembaga pembantu utama pemerintahan Kerajaan Bone yang bertugas mengawasi dan membantu pemerintahan kerajaan Bone yang terdiri dari 7 (tujuh) orang yaitu :
 
1. ARUNG UJUNG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone
2. ARUNG PONCENG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintahan
3. ARUNG TA
  • Bertugas Bertugas Mengepalai Urusan Pendidikan dan Urusan Perkara Sipil
4. ARUNG TIBOJONG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Perkara / Pengadilan Landschap/ Hadat Besar dan Mengawasi Urusan Perkara Pengadilan Distrik
5. ARUNG TANETE  RIATTANG
  • Bertugas Mengepalai Memegang Kas Kerajaan, Mengatur Pajak dan Mengawasi Keuangan
6. ARUNG TANETE  RIAWANG
  • Bertugas Mengepalai Pekerjaan Negeri (Landsahap Werken – Lw) Pajak Jalan  Pengawas Opzichter.
7. ARUNG MACEGE
  • Bertugas Mengepalai Pemerintahan Umum Dan Perekonomian.
Bagan ini saya buat berdasarkan referensi di atas.
(Mursalim)

Sumber : https://telukbone.id/2015/05/31/bagan-struktur-pemerintahan-kerajaan-bone/

Kunjungan Presiden Sukarno di Kerajaan Bone



BUNG KARNO, Beliau adalah salah satu The Founding Father Indonesia, Bapak Proklamator, Guru Bangsa, Negarawan Paripurna dan masih banyak lagi alasan mengapa Bung Karno patut dikenang.Untuk alasan kenang-mengenang masyarakat Bone secara khusus punya kenangan tersendiri dengan Presiden Pertama Indonesia ini.
 
Ketika Bung Karno datang ke Bone untuk pertama kalinya mengunjungi Kerajaan Bone diawal tahun 1950 untuk bertemu dengan Raja Bone ke-32  La Mappanyukki, Ade Pitu Kerajaan Bone, dan seluruh Rakyat Bone dengan satu tujuan mengajak Kerajaan Bone untuk bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seperti kebiasaan Bung Karno kalau berpidato. Di Bone pun saat itu beliau berpidato di depan Raja Bone, Ade Pitu kerajaan Bone dan rakyat Bone. Bung Karno berorasi politik di atas sebuah meja kayu sebagai panggung dadakan. Tempat kejadian bersejarah itu di gedung Ade’ Pitu atau Dewan Adat Kerajaan Bone (Bola Subbi’e) segaligus sebagai bekas Istana Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri. Masyarakat Bone lebih mengenalnya dengan sebutan ‘Bola SubbiE’ atau Rumah yang dihiasi dengan ukiran khas Bone. Saat ini gedung bersejarah tersebut dijadikan gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Bone di Jalan Merdeka Watampone.

Dalam foto hitam putih itu terlihat Putra Sang Fajar melepas jas kebesarannya, kemejanya dilipat sampai di bawah siku. Sebuah penampilan tak biasa bagi Bung Karno yang selalu bangga dengan jas jenderal kebesarannya. Pertanyaan pun muncul apakah pada saat itu cuaca Kerajaan Bone begitu panasnya yang memaksanya harus melepas jas ataukah itu sebagai simbol bahwa dia tidak datang ke kerajaan Bone dengan nama besarnya sebagai Presiden Indonesia tapi sebagai manusia sebangsa yang ingin menggugah kesadaran persatuan bagi Kerajaan Bone.

Pemilihan tempat pertemuan di Bola SubbiE merupakan sebuah perhitungan tersendiri. Mengapa harus disitu? Bukan di istana Raja Bone H. Andi Mappanyukki. Karena Bola SubbiE adalah bekas istana Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri yang memiliki nilai sejarah bagi Kerajaan Bone. Istana tersebut pernah dihancurkan oleh penjajah Belanda ketika Rumpa’na Bone atau Perang Bone tahun 1905. Harapannya dengan mengingatkan kembali kenangan tersebut kesadaran patriotisme dan nasionalisme rakyat Bone akan semakin tergugah untuk mempertahankan kemerdekaannya dalam bingkai persatuan nasional.

Sukarno mengawali pidatonya dengan kata ” Yang Mulia Raja Bone beserta Ade’ Pitu atau Dewan Adat kerajaan Bone beserta seluruhnya Rakyat Bone yang saya cintai …”. Selanjutnya dia berterima kasih telah diperkenankan hadir di kerajaan Bone. Pidatonya runtun dengan nada agak pelan namun tetap menggugah seluruh hadirin yang ada pada saat itu.

Bung Karno memaparkan pentingnya persatuan bagi seluruh rakyat dan kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara khususnya Kerajaan Bone. Jika kita bersatu padu dalam satu Negara Kesatuan Indonesia maka yakinlah bahwa Imperialisme dan Kolonialisme dapat kita singkirkan dari seluruh Bumi Nusantara. Kita sekalian akan bersatu-padu, bergotong-royong memperkuat Indonesia kita tercinta yang merdeka, berdikari dan sejajar dengan Negara-negara besar lainnya. Pesan persatuan inilah kemudian yang berhasil menggugah Raja Bone dan Ade’ Pitu kerajaan Bone beserta seluruh rakyat Bone untuk bergabung kedalam Negara Kesatuan Indonesia.

Setelah kedatangan Presiden Soekarno tersebut, tidak berselang lama pertemuan kedua diadakan di Yogyakarta bertempat di Keraton Yogya. Kali ini pertemuan tersebut dihadiri oleh Raja-raja se-Nusantara termasuk Raja Bone Ke-32  La Mappanyukki, Datu Luwu Andi Jemma, dan Raja Gowa Imangimangi.

Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan bersejarah bahwa tiga kerajaan besar yang ada di Sulawesi yakni Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Gowa (tiga kekuatan/kerajaan) menyatakan diri bersedia masuk dan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menindak lanjuti kesepakatan ini maka Kerajaan Bone kemudian berganti status menjadi daerah Swapraja yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Bone hingga saat ini. Sejarah pun mencatat La Mappanyukki sebagai Raja Bone sekaligus sebagai Kepala Daerah Bone. (La  Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (Kepala Daerah/Raja Bone) Tahun 1957-1960)

Jas Merah (Jangan Sekali-sekali melupakan sejarah) kata Bung Karno suatu ketika. Karena itu, Presiden Soekarno sangat pantas untuk selalu dikenang. Terlepas dari berbagai kontroversi yang sampai saat ini masih tetap melingkupinya. Tahun 1967 diawal masa kejatuhannya Putra Sang Fajar berujar : ” Aku ini di puja bagai Bima dan sekaligus di benci layaknya Bandit “. Sebuah kenyataan miris dari seorang yang sangat mencintai Indonesia dengan setulus hati dan memperjuangkan Kemerdekaan Bangsa kita layaknya berjihad.

Yang jelas, Satu Kesimpulan baik suka maupun tidak, mengapa Presiden Soekarno akan selalu dikenang untuk selamanya atau paling tidak selama Indonesia masih tetap tegak berdiri dalam semesta peradaban dunia karena Bung Karno adalah salah satu alasan Indonesia ada.

Sumber : https://telukbone.id/2015/08/12/kunjungan-presiden-sukarno-di-kerajaan-bone/

Sejarah Saoraja Bone



SAORAJA atau BOLASOBA, dalam bahasa Indonesia yang berarti Rumah Besar  atau Rumah Persahabatan merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Bone masa lalu.  Bangunan rumah panggung yang sarat dengan nilai-nilai sejarah ini masih berdiri kukuh  terletak Jalan Latenritatta, Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Sepintas, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir setengah  hektar tersebut. Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala masyarakat bugis Bone. Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas bangunan tersebut.

Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan secara hirarki dan historis bangunan tersebut. Hanya beberapa perlengkapan properti kesenian, seperti kostum tari dan gong. Ya, saban hari bangunan Saoraja atau Bolasoba ini menjadi tempat pelatihan sanggar-sanggar seni yang ada di kota  Bumi Arung Palakka. Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat Langkana atau singgasana raja, bangkai meriam tua, gambar La Tenritatta Arung Palakka Raja Bone ke-15, silsilah dan susunan raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu seperti guci dan dupa yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar atau dalam bahasa Bugis mappaleppe’ tinja’.

Saoraja dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31,  La Pawawoi  Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung (1895-1905) . Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu sehingga disebut Saoraja. Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi Karaeng Sigeri yang bernama  Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima Perang) Kerajaan Bone oleh raja dengan persetujuan Ade’ Pitue.

Saat ditempati oleh Petta Ponggawae, maka bubungan rumah atau timpa’ laja diubah menjadi empat singkap atau susun setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, dalam tata kehidupan masyarakat Bugis, lima singkap timpa’ laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi Rumah Raja dan  timpa’  laja dengan empat singkap untuk putra raja.

Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai penginapan dan untuk menjamu tamu Belanda. Dari sinilah awal penamaan Bolasoba  yang berarti rumah persahabatan atau dalam bahasa Bugis Sao Madduppa to Pole.
 
Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-32 La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa, 1931-1946,, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala sampai saat ini.

Saoraja telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya, terletak di Jalan Petta Ponggawae Watampone yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone di Jalan Petta Ponggawae. Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran Watampone dan terakhir di Jalan Latenritatta Watampone sejak tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982  oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1978-1983) saat itu,  Prof Dr. Daoed Joesoef.

Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya. Secara umum, Saoraja yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter).

Selanjutnya, pada bagian dinding dan tamping, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dengan perpaduan model swastika yaitu sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks.

Sejauh ini,  Saoraja Bone yang juga menjadi objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari dalam negeri, bahkan wisatawan macanegara . Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan mengunjungi Saoraja / Bola Soba untuk melepas nazar dan meninggalkan benda-benda tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar. Bahkan, beberapa di antara mereka kerap mengaku masih keturunan Raja Bone ke-32 La Mappanyukki.
(Mursalim)

Sumber : https://telukbone.id/2016/05/31/sejarah-saoraja-bone/

Potret 33 Raja-raja Bone dari Masa ke Masa

Di masa lalu, Kerajaan Bone sejak tahun 1330 sampai 1951 terdapat 33 masa pemerintahan yang dipimpin sebanyak 32 Raja/Ratu

6 (Enam) yang pernah memimpin kerajaan Bone diantaranya adalah perempuan yakni WE BANRIGAU, WE TENRITUPPU, WE BATARITOJA, WE IMANIRATU, WE TENRIAWARU, dan WESeluruh potret Raja/Ratu yang ada di bawah ini dilukis melalui proses tirakatan oleh Andi Bahrum Djahidin yang dibantu oleh Mursalim Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone sekaligus menyiapkan seluruh peralatan yang diperlukan. Beliau berjuang selama sebulan memohon petunjuk kepada Allah SWT, kecuali Raja Bone ke-15,31,32, dan 33 s FATIMAH BANRI. Sedangkan 26 (Dua Puluh Enam) lainnya adalah pria.
 
Dari 33 masa pemerintahan, satu-satunya yang pernah menjabat dua kali adalah WE BATARITOJA (Ratu Bone ke-17 dan Ratu Bone ke-21)
Alhamdulillah,
ebelumnya memang sudah ada, namun tetap dilukis seperti yang lainnya.

Proses pembuatan potret Raja-Raja Bone ini dilakukan atas petunjuk Bupati Bone Bapak Dr. H. Andi Fashar Mahdin Padjalangi, M.Si .dan beliau sangat memperhatikan pelestarian sejarah.

RAJA BONE KE-1 MANURUNGE RI MATAJANG, MATA SILOMPOE, 1330-1365
RAJA BONE KE-2 LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE, 1365-1368
RAJA BONE KE-3 LA SALIYU KORAMPELUA, 1368-1470
RATU BONE KE-4 WE BANRIGAU, 1470-1510
RAJA BONE KE-5 LA TENRISUKKI, 1510-1535
RAJA BONE KE-6 LA ULIYO BOTE-E, 1535-1560
RAJA BONE KE-7 LA TENRIRAWE BONGKANGE, 1560-1564
RAJA BONE KE-8 LA INCA, 1564-1565
RAJA BONE KE-9 LA PATTAWE, 1565-1602
RATU BONE KE-10 WE TENRITUPPU, 1602-1611
RAJA BONE KE-11 LA TENRIRUWA, 1611-1616
RAJA BONE KE-12 LA TENRIPALE, 1616-1631
RAJA BONE KE-13 LA MADDAREMMENG, 1631-1644
RAJA BONE KE-14 LA TENRIAJI, 1644-1672
RAJA BONE KE-15 LA TENRITATTA, ARUNG PALAKKA, 1672-1696
RAJA BONE KE-16 LA PATAU MATANNA TIKKA, 1696-1714
RATU BONE KE-17 WE BATARITOJA, 1714-1715
RAJA BONE KE-18 LA PADASSAJATI, 1715-1718
RAJA BONE KE-19 LA PAREPPA TOSAPPEWALI, 1718-1721
RAJA BONE KE-20 LA PANAONGI TOPAWAWOI, 1721-1724
RATU BONE KE-21 WE BATARITOJA, 1724-1749
RAJA BONE KE-22 LA TEMMASSONGE, 1749-1775
RAJA BONE KE-23 LA TENRITAPPU, 1775-1812
RAJA BONE KE-24 LA MAPPASESSU, TOAPPATUNRU, 1812-1823
RAJA BONE KE-25 WE IMANIRATU, 1823-1835
RAJA BONE KE-26 LA MAPPASELING, 1835-1845
RAJA BONE KE-27 LA PARENRENGI, 1845-1857
RATU BONE KE-28 WE TENRIAWARU, BESSE KAJUARA, 1857-1860
RAJA BONE KE-29 LA SINGKERU RUKKA, 1860-1871
RATU BONE KE-30 WE FATIMAH BANRI, 1871-1895
RAJA BONE KE-31 LA PAWAWOI, KARAENG SIGERI, 1895-1905
RAJA BONE KE-32 LA MAPPANYUKKI, 1931-1946
RAJA BONE KE-33 LA PABBENTENG, 1946-1951


Sumber : https://telukbone.id/2017/01/06/potret-33-raja-raja-bone-dari-masa-ke-masa/

Perjanjian Manurungnge di Bone

Kerajaan Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke-14 atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA.

Dengan datangnya TO MANURUNG ( Manurungge Ri Matajang ) diberi gelar MATA SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan T0 MANURUNG , sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya. 

Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum  dan keadilan bagi rakyat. Adapun teks Sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat  Bone yang dikenal Perjanjanjian Manurungnge / Ulu Adae Ri Manurungnge berbunyi sebagai berikut ;

ANGIKKO
KURAUKKAJU
RIYAAOMMIRI RIYAKKENG
KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG
ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO
KILAO.. MALIKO KISAWE.
MILLAUKO KI ABBERE.
MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG
TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “

Terjemahan :

ENGKAU ANGIN
KAMI DAUN KAYU,
KEMANA BERHEMBUS KESITU
KAMI MENURUT KEMAUAN
KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU
MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT
DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI,
WALAUPUN ANAK ISTRI KAMI
JIKA TUANKU TIDAK SENANGI
KAMIPUN TIDAK MENYENANGINYA,
TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,
ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR DAN SEJAHTERA
ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ”

Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “ SIRI “merupakan integral/kesatuan dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( Norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya ;

1. SIPAKATAU

artinya : Saling memanusiakan , menghormati / menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda – bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku

2. SIPAKALEBBI

artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat

3. SIPAKAINGE

artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan.

Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka sistem pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh Ketua Kaum ( Matoa Anang ) dalam satu majelis dimana  ManurungE sebagai Ketuanya. Ketujuh Kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu LAPPATAWE MATINROE RI BETTUNG pada akhir  abad ke XVI

MASUKNYA AGAMA ISLAM TAHUN 1605

Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone ke-10 LATENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG. Namu perkembangannya mulai menyebar ada masa pemerintahan raja Bone ke-11 Latenri Ruwa Tahun 1611. Pada masa itu pula sebutan Matoa Pitu diubah menjadi Ade’ Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan MATOA MENGALAMI PULA PERUBAHAN MENJADI ARUNG misalnya Matoa Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya.

KALULA,KERAJAAN, DAN KABUPATEN

Sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA. Selanjutnya menjadi kerajaan menjadi kabupaten seperti sekarang ini yang dipimpin oleh seorang Bupati.

Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke-14 atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat di kota Watampone tepatnya di lapangan Merdeka sekarang ini yaitu menuntut bergabung dengan NKRI serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia. Dengan dasar inilah sehingga  Kabupaten Bone dibentuk menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959 Tanggal 04 Juli Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, termasuk kabupaten Bone.

Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti. Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder distrik menjadi KECAMATAN sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989-1990 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai HARI JADI  BONE dan diperingati setiap tahun .

Sumber : https://telukbone.id/2013/04/06/perjanjian-manurungnge-di-bone/

Penetapan Hari Jadi Bone

Hari Jadi Bone diperingati  tanggal 6 April setiap tahunnya. Hal ini berdasarkan Perda Kabupaten Bone Nomor 1 Tahun 1990. Penetapan ini diawali dengan kegiatan seminar yang dihadiri oleh Pakar Sejarah dan Budayawan Bone.  Tanggal dan Bulan penetapan Hari Jadi Bone diambil berdasarkan Pelantikan  Raja Bone ke-16  Lapatau Matanna Tikka pada tanggal 6 April 1696. Masa Pemerintahnnya (1696-1714). Sedangkan penetapan tahunnya berdasarkan sejak Tahun 1330 masa pemerintahan Raja Bone ke-1 yaitu  Manurungnge Ri Matajang (1330-1358) 

Dengan demikian, tahun 2010 Bone memperingati hari jadinya ke-680  yaitu , Tanggal 6 April 2010 yang terhitung sejak La Ubbi To Manurungnge Ri Matajang sebagai Raja Bone ke-1  (1330). Peringatan Hari Jadi Bone walaupun hitungan tahunnya sejak 1330 namun proses pelaksanaannya baru dimulai tahun 1990

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam memperingati Hari Jadi Bone diantaranya sebagai berikut :

a. Mattompang Arajang

Merupakan kegiatan menyucikan benda-benda Pusaka Kerajaan Bone yang terdiri dari : Keris Lamakkawa, Pedang (Alameng), Latenri Duni, dansenjata perang lainnya serta Salempang Emas (Sembang Pulaweng). Penyucian ini dilaksanakan secara adat, dengan pelaksana  para Empu Keris Pusaka yang disertai tata cara adat lainnya meliputi Sere Bissu yang diiringi musik “Gendrang Bali Sumange”, Ana” Beccing, dan Kancing.
 
Dimasa kerajaan masa lampau, kegiatan ini sebagai bahagian upacara ritual untuk menghadapi hal-hal tertentu seperti ketika akan menghadapi perang, menghadapi wabah penyakit yang melanda kerajaan, dan guna mendatangkan hujan ketika terjadi kemarau panjang.
 
b. Kirab Kerajaan

Kirab kerajaan Bone adalah serangkaian prosesi adat yang digelar pada saat diperingatinya Hari Jadi Bone setiap tahunnya. Dalam prosesi adat ini dipergelarkan sejumlah jenis dan susunan pasukan kerajaan Bone dimasa lampau, yang terdiri dari: Pasukan Petta PonggawaE (Panglima Perang), Pasukan Raja dan Permaisuri, Pasukan Bissu Kerajaan, Pasukan Laskar (Prajurit Kerajaan), Pasukan Ade Pitu (Tujuh Petinggi kerajaan, serta Pasukan Tokoh-tokoh Masyarakat.
 
c. Sendratari ManurungngE

 Merupakan Sendratari yang menyajikan kisah sejarah awala terjadinya Pengangkatan dan Pelantikan Raja (Mangkau), yang sekaligus merupakan babakan awal terciptanya tata pemerintahan kerajaan I dimasa abad XIII pada tahun 1330 di Tana Bone. Sendratari ini mengisahkan bahwa Tanah Bone pada abad XIII, kehidupan masyarakat serba tidak menentu.
 
Di antara kelompok masyarakat adat yang ketika itu masing-masing dipimpin oleh seorang ketua adat atau disebut Matoa, saling menjatuhkan dan memerang satu sama lain. Sehingga suasana kehidupan menjadi karut-marut, di mana-mana para warga saling bermusuhan. Tidak Ada lagi tatanan yang dapat mempersatukan rakyat Bone, kemiskinan terjadi, keterpurukan terjadi pada semua sendi kehidupan.
 
Peristiwa demi peristiwa terjadi tanpa terkendali, sehingga suatu saat terjadi satu keajaiban di mana bumii diliputi hujan lebat dan petir menyambar-nyambar dengan sangat dahsyat dan menyilaikan mata. Tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian putih yang tidak diketahui asalnya (dalam kisah lontara ia disebut dsebagai PUA CILAO), hujan dan petirpun reda. Mengalami peristiwa ajaib ini para warga yang berperangpun menghentikan aktivitasnya melihat kedatangan seorang yang dianggap turun dari langit. Para wargapun kemudian memberikan salam hormat.
 
Namun sang pendatang ini menolak untuk diberi penghormatan dan bahkan ia menyampaikan pesan bahwa manusia yang pantas bagi mereka untuk diberi penghormatan buakanlah ia, melainkan ada seseorang yang lain yang kelak akan menjadi pemimpin mereka di Tanah Bone. Dialah yang akan menjadi raja (Mangkau) I di Tanah Bone. Jelang beberapa lama muncullah seseorang dengan berpakaian lengkap yang didampingi oleh para pengapitnya berikut sejumlah Bissu sebagai pasukan pengawal.  Dialah Sang ManurungngE Ri Matajang bergelar Mattasi LompoE. Dan setelah duduk bersama para Tokoh Pemimpin Rakyat (Matoa), maka para Matoa bersepakat mengangkat ManurungngE Ri Matajang sebagai Mangkau (raja) I di tanah Bone. Sehingga sejak itu pada tahun 1330 berdirilah Kerajaan Bone.
 
d. Tari Alusu

   Tari yang digelar untuk penjemputan tamu kehormatan dari kerajaan lain. Diperagakan pada awalnya oleh para Bissu kerajaanpada abad XVI masa pemerintahan Raja Bone X We Tenri Tuppu MatinroE Ri Sidenreng, tari ini biasa juga disebut Sere Bissu. Kemudian pada masaberikutnya dipergakan dalam bentuk tari yang disebut Tari Alusu yang diperagakan oleh paradara-dara di lingkungkangan bangsawan.
 
e. Tari Pajaga Andi

Lahir pada masa Raja Bone Webenri Gau Fatima Banri, ia juga selaku pencipta pakaian “Waju Ponco” yang dikenakan bagi para andi-andi seperti sekarang ini. Tari ini diperagakan pada saat “Majjaga” di saoraja untuk menciptakan suasana hiburan bagi raja ketika sedangberistirahat.
 
f. Tari Maraneng Songlkok Recca” Songkok To Bone

Merupakan tari kreasi daerah Bone yang menggambarkan cara menganyam Songkok To Bone yang melambangkan suatu kegiatan mulai dari pengambilan bahan (dari ure’ Ca/Serat pohon lontar) sampai menjadibentuk songkok. Tarian ini diperagakan oleh para anak dara dan Kallolona Tanah Bone kostum Adat Bugis Bone, dihadapan para tamu Kehormatan Daerah. dengan Instrumentarian ini adalah gendang, gong, kecapi, suling, dan peralatan lainnya.
 
g. Gendrang Sanro

Dibawakan oleh para sanro (dukun) untuk meminta restu dewa guna menolak bencana yang diperkirakan akan menimpa kerajaan. Selain itu juga dipakai dalam upacara adat seperti: Acara Menre’ Bola (menempati rumah baru), Mappakkulawi (Maruwwaelawi) yaitu selamatan anak yang baru lahir. Acara ini sudah ada sejak zaman kerajaan, dilakukan oleh para Sanro yang lahir setelah berakhirnya peranan Bissu di lingkungan kerajaan. Para Sanro ini bisa darilaki-laki maupun perempuan. Alat yang digunakan : gendang, anak beccing, kancing, mangkok porselin, dan sinto (dari bahan daun lontar).
 
h. Genrang Bajo

Diperagakan oleh oleh komunitas suku Bajo, yang memberikan gambaran situasi kehidupan suku Bajo di pesisir pantai. Genrang Bajo sering disebut juga sebagai Genrang Pabbiring (pesisir)
 
i. Gendrang Balisumange

 Diperagakan oleh rumpun bangsawan untuk mengiringi upacara adat perkawinan, upacara malam perkawinan adat bugis Bone lingkungan Saoraja. Genrang BalisumangE biasa juga digelar pada acara perkawinan antar rumpun bangsawan, mulai dari mappettu ada, tudang penni, sampai hari perkawinan (esso botting); selalu diiringi dengan anak baccing dan kancing.
 
j. Gendrang Pangampi

Dibunyikan saat warga menjaga padi, sehingga hama dan burung, pengganggu pemakanpadi menjauh dari tempat/sawah. Alat yang dipakai : alat bambu dan kayu pilihan, biasanyadiiringi dengan ” katiting ” (dari batang padi).

HARI JADI KABUPATEN BONE
 
Tidak seperti hari Jadi Bone yang selalu diperingati tiap tahunnya. Seingat Penulis Hari Jadi  Kabupaten Bone  belum pernah dirayakan. Karena perlu dipahami, bahwa BEDA HARI JADI BONE DENGAN HARI JADI KABUPATEN BONE.
 
Kabupaten Bone terbentuk sejak Tahun 1959 bersarkan Undang-Undang Nomor 29  Tanggal 4 Juli Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi. Sehingga apabila  Hari Jadi Kabupaten Bone dirayakan maka perhitungannya dimulai Tanggal 4 Juli 1959.

Dengan demikian, di Tahun 2010 Peringatan ke –680  HARI JADI BONE  dan Peringatan ke-51 HARI JADI KABUPATEN BONE ?
Oleh :  (Mursalim)

Sumber : https://telukbone.id/2013/04/11/penetapan-hari-jadi-bone/

Menimba Ilmu Sejarah dari Pertarungan Arung Palakka



Mungkin tak banyak yang tahu kalau Pulau Buton (kadang disebut Butung), pernah menjadi tempat pelarian Arung Palakka dari kejaran pasukan Sultan Hasanudin. Pelajaran sejarah yang pernah singgah tatkala kecil dulu paling hanya menjabarkan kalau si pangeran berambut panjang ini hanyalah seorang pengkhianat. Mengapa? karena pada umumnya para pembaca hanya menulusuri berbagai literatur barat yang merupakan antikus dengan Arung Palakka.

Ia berlari mencari bantuan VOC dan melawan pahlawan Indonesia. Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata buat sebagian orang khususnya orang Bone dan Buton, Arung Palaka bukanlah sosok jahat, yang seperti didiskreditkan sekarang ini.

Alkisah, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya. Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkubuan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri)-nya tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.



Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, mereka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone tersebut.

Namun, Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes memutuskan pergi saja untuk mencari orang yang dapat menolong mengembalikan SIRI  mereka. 


Dan sebelum ia pergi ke Pulau Jawa, terlebih dahulu ia berlari ke Buton untuk mencari perlindungan Raja Buton X yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem. Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka.


”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya. Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Lalu di mana letak kebenaran sejarah yang menyatakan bahwa benar lokasi yang sekarang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah disana, merupakan tempat Arung Palakka bersembunyi?

Ceruk
 
Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, sangat menggambarkan kebenaran sejarah tersebut.


Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar. Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk tersebut. Yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan goa, yang berada di dalam tanah. Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya menyelamatkan Arung Palakka dari pengejaran pasukan Gowa.

Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Ia menjelaskan bahwa antara kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara. ”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya memberitahu isi ikatan tersebut pada saya, akhir bulan lalu.

Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan menolong Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.

Ceruk bersejarah tersebut kini berada di sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Bau-Bau. Tak sulit mencarinya karena berada tak jauh dari benteng Wolio, yang terletak di daerah paling tinggi di Pulau Buton.


Menuju ke ceruk tersebut juga tidak sulit. Hanya daerahnya yang agak terjal membuat kita harus agak berhati-hati melewatinya.

Saat saya akhirnya tiba di goa tersebut. Hilang semua pemikiran saya mengenai gambar sebuah goa pada umumnya di Jawa. Tempat persembunyian Arung Palakka tersebut lebih pantas bila dikatakan ceruk dengan air yang terus menetes-netes dari atapnya.

Kemudian ada sedikit daerah yang kini diberi plesteran semen, yang disinyalir sebagai tempat Arung Palakka duduk bersembunyi. Tak bisa kita berdiri tegak di sini, agak bungkuk untuk menghindari bagian tajam yang menghiasi atas ceruk. Namun dapat dipastikan, banyaknya air yang terus menetes dari atas ceruk yang bisa membuat Aru Palakka bisa bertahan lama di sana.

Rumah Adat
 
Hal keberadaan singgahnya Aru Palakka kemudian dikuatkan juga oleh pernyataan ahli waris kesultanan Buton. Keluarga istana yang rumah tinggalnya kini dijadikan rumah adat. Yang bisa didatangi siapa saja untuk menjelaskan keberadaan rakyat Buton, juga tidak menyangkal hal tersebut. Di rumah adat berkamar enam dan berlantai dua itu, juga terpampang foto dan patung Arung Palakka. Ini menandakan memang benar keberpihakan kesultanan Buton pada Arung Palakka. Bahkan mereka tidak merasa itu sebuah kesalahan, karena memang perjanjian adat yang ada sudah mengikat mereka dengan Bone.


Terlepas dari benar tidaknya sejarah tersebut. Satu yang harus dicatat, adalah mengenai tingginya perhatian masyarakat Buton terhadap masa lalunya. Bahkan dengan Arung Palakka yang relatif orang luar Buton (dan dianggap pengkhianat pada masa Orde Baru), mereka tetap mengenang keberadaannya di sana.

Lalu timbul pertanyaan, masih tersisakah rasa penghormatan itu pada diri manusia Indonesia pada umumnya kini? Pahlawan sendiri kadang kita lupakan juga. Ya Allah generasi kini sudah lupa fundamentalitasnya sendiri hingga kapan berakhir fenomena ini? Tanya pada rumput yang bergoyang.

Sumber : https://telukbone.id/2012/11/25/menimba-ilmu-sejarah-dari-pertarungan-arung-palakka/

Kata Bijak dan Motivasi

Jika Anda terlahir miskin, itu bukan kesalahan Anda. Tetapi jika Anda meninggal dalam keadaan miskin, itu kesalahan Anda.

Bill Gates

CEO of Microsoft

Apabila kamu tidak bisa berbuat kebaikan kepada orang lain dengan kekayaanmu, maka berilah mereka kebaikan dengan wajahmu yang berseri-seri, disertai akhlak yang baik.

Nabi Muhammad SAW

Central Figure of Islam

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan, saat mereka menyerah.

Thomas Alfa Edison

American Inventor and Businessman

Jika Anda mencintai pekerjaan Anda, Anda akan berada di luar sana setiap hari berusaha untuk melakukan yang terbaik Anda bisa, dan segera semua orang di sekitar akan menangkap semangat dari Anda, seperti demam.

Jim Walton

Founder of Walmart

"If you can dream it, you can do it." Jika kamu bisa bermimpi tentang hal itu, Anda juga bisa melakukan hal itu.

Walt Disney

Founder of The Walt Disney company

ASHAR
+823-9456-1425
Parepare, Indonesia

SEND ME A MESSAGE